Menanti Penyelesaian Klaim Kepemilikan Besipae

  

Tulisan ini pernah dimuat di HKU Pos Kupang, Selasa 26 Mei 2020

Oleh: Paul Ama Tukan

(Anggota KMK-L, tinggal di Wisma Mikhael Ledalero-Maumere)


 

Klaim kepemilikan wilayah Besipae, desa Linamnutu, kecamatan Amanuban Selatan, kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) belum menuai kesepakatan. Sebagaimana diberitakan pos-kupang.com (12/2/2020) warga menuntut agar sertifikat hak pakai Pemrov dicabut dan dilakukan pemetaan ulang kepemilikan tanah tersebut. Pemrov NTT masih bersikeras mengambil wilayah itu dan berencana merelokasi warga Besipae dari wilayah pemukiman mereka. Upaya pengambilan lahan ini pun akan berlanjut pada pengosongan lahan oleh Pemrov NTT dan selanjutnya akan digunakan sebagai “pusat pengembangan peternakan, pembibitan sapi wagio dan sebagai pusat pakan ternak” (fakta-tts.com 10/02/2020).

Dilema Pembangunan

Dilema besar tentu menghantam figur kekuasaan tatkala strategi pembangunan dan upaya konstruktif justru meluruhkan air mata segenap rakyat akar rumput dan membekaskan suatu trauma tragis. Dilema itu, justru perlu direfleksikan, selanjutnya penting menjadi “antithesis” di hadapan “cita-cita besar” kekuasaan memajukan kehidupan masyarakat NTT. Namun, mungkinkah kekuasaan mendengar jeritan aspirasi itu, kalau tidak mau dikatakan sebagai kekuasaan yang “masa bodoh”? Dilema pembangunan juga ditunjukan, misalnya upaya pengembangan budidaya kelor di tengah bergelimangnya aksi protes dan aspirasi penolakan atas lahan kontrakan Pemprov NTT tersebut.

Ada hal yang lebih urgen ketika dilema ini kembali diletakkan pada porsi demokrasi yang kekuasaan sepenuhnya berkiblat pada kepentingan rakyat. Dimensi demokrasi sangat tidak diharapkan “runtuh” di hadapan nafsu kekuasaan yang penuh idealisme itu. Maka urgensi apa yang sebenarnya perlu dipertanggungjawabkan seperti halnya pembangunan budidaya kelor berhadapan dengan aksi protes warga Besipae ini? Demikian, dilema pembangunan itu harus dipikirkan lebih lanjut dan menjadi “sengat” bagi Pemprov NTT.

 

Kecacatan Demokrasi Prosedural?

Pertama, aksi protes warga ini bukan tanpa maksud. Sebagai makhluk yang hidup dengan adat istiadat yang kental, warga Besipae barangkali tidak “rela” untuk menyerahkan wilayah itu demi cita-cita pembangunan pemerintah dalam hal ini Pemrov NTT, kendati dengan segala alasan rasional dan estimasi yang menggiurkan, segala ideal itu semacam tidak bisa dibantah secara tuntas. Deretan sejarah yang membentuk kehidupan panjang itu sudah menjadi harga diri mereka. Merampas tanah itu atas nama pembangunan adalah suatu upaya dehumanisasi, berikut menggusur harga diri mereka sebagai manusia. Dengan demikian, aksi protes yang ekstrim terhadap gubernur adalah aksi menyuarakan eksistensi, bahwa mereka telah melahirkan sekian banyak kehidupan di atas tanah itu. Mereka tidak bisa “ingkar” terhadap adat yang telah melestarikan kehidupan mereka sendiri. Aksi protes warga Besipae bukan suatu tindakan anarkis, bukan suatu “kelalalaian” berdemokrasi apalagi suatu dramatisasi pornoaksi. Protes mereka adalah murni tindakan “menyelamatkan” kehidupan.

Kedua, mencermati kronologi pelimpaham hak pakai/kontrakan atas wilayah Besipae, Pemrov telah malakukan pemaksaan penandatanganan berkas perintah pengosongan lahan terhadap beberapa tokoh adat Pubabu  pada 17 Oktober 2017. Bahkan, pemaksaan ini dilakukan tanpa penyampaian maksud penandatanganan berkas itu dan diwarnai oleh ancaman. Seperti ditulis Voxntt.vom, ancaman ini menimpa bapak David Manisa dan Frans Sae ketika menolak penandatanganan berkas itu, seperti ujaran “foto dia supaya dia lari na kita bisa kejar dia”. Pemaksaan ini dilakukan sebagai reaksi atas penolakan warga terhadap perpanjangan kontrak oleh dinas Peternakan. Maka pertanyaannya, mengapa terjadi pemaksaan jika warga Besipae sendiri tidak menginginkan perpanjangan kontrak tersebut? Bukankah dengan cara demikian, Pemrov NTT sebenarnya sedang mendramatisasi suatu banalitas kekuasaan? Pemaksaan penandatanganan ini mengindikasikan suatu ketidakberesan dalam tubuh Pemrov. Maka sudah seharusnya publik disodorkan  jawaban tentang motivasi di balik pemaksaan oleh pihak Pemrov ini. Pemaksaan yang dilakukan oleh Pemrov ini sadar atau tidak justru membuat warga Besipae kembali mensinyalir “otak” di balik tindakan Pemrov NTT. Ada apa di balik aksi pemaksaan Pemrov ini?

Ketiga, gubernur berjanji untuk menjadikan Besipae sebagai pusat pengembangan kelor dan peternakan terbaik. Gubernur bahkan menolak aksi perlawanan warga yang melarang wilayah itu dijadikan pusat pengembangan kelor dan peternakan, sebab menurutnya usaha pemerintah ini bukan merupakan suatu usaha untuk merampas hak-hak masyarakat adat Pubabu (Pos-Kupang.com, 13/2020). Merujuk pada basis legalitas sejarah kepemilikan wilayah Bisapae, klaim gubernur ini sesungguhnya tak berdasar. Pertama, karena wilayah ini merupakan wilayah kontrakan yang statusnya hanya sebagai wilayah yang dipakai, bukan menunjukan kepemilkan atas lahan. Kedua, berangkat dari poin kedua di atas upaya perpanjangan kontrak wilayah oleh Pemrov NTT belum disepakati oleh masyarakat adat Pubabu sebagai pemilik wliayah itu sehingga status hak pakai atas tanah Besipae pun belum legitim-belum sah juga secara prosedural. Atas dasar ini, janji gubernur di atas adalah suatu pernyataan yang cacat formal dan selanjutnya cita-cita pengembangan kelor pun menjadi tidak berdasar.

Menurut hemat penulis, ketiga poin di atas menjadi suatu latar agar kita kembali memikirkan tentang hakikat pemerintahan yang demokratis. Demokrasi prosedural dengan rumusan “dari rakyat dan oleh rakyat” justru “lalai” dari perhatian dan pertimbangan Pemrov NTT dalam penyelesaian klaim kepemilikan wilayah Besipae, sekalipun kita masih bisa mengendus maksud substansial kekuasaan di dalamnya. Lebih-lebih tindakan pemaksaan oleh Pemrov NTT menunjukan suatu “kecacatan” praktek demokrasi. Kedaulatan tidak lagi bersumber dari rakyat (warga Besipae) tetapi dari Pemrov yang telah memaksa penandatanganan berkas pengosongan lahan itu. Demokrasi tidak bisa diterjemahkan sebagai suatu upaya menggapai maksud substansial kekuasaan dan melupakan aspirasi rakyat sebagai representasi penyelenggaraan Demokrasi secara prosedural. Sebab itu, cita-cita apapun termasuk atas nama kesejahtraan rakyat harus bisa mengayomi semua lapisan masyarakat agar penyelenggaraan demokrasi berjalan seimbang dan tidak mendepak rakyat. Jelas, cacat demokrasi prosedural ini telah menempatkan rakyat adat Pubabu pada “nasib” yang tidak tentu bahkan pada kehidupan yang penuh intimidasi.

Pemimpin harus Membawa Oase

Lebih lanjut, dalam soal ini, ketegasan seorang pemimpin adalah suatu keharusan  tetapi juga diharapkan tidak ‘bablas’ di hadapan aneka protes dan aspirasi. Ungkapan hati seorang warga Besipae yang dikutip dari halamansembilan.com, “Kami ingin gubernur datang menemui kami dan berdialog dengan cara yang santun sesuai dengan adat istiadat orang Timor. Bukan dengan cara bentak-bentak dan kata-kata kasar kepada kami para orang tua di kampung”. Cara pemimpin bertindak di hadapan rakyat bukan didasarkan pada relasi tuan dan hamba atau atasan dan bawahan. Siapa pun yang memimpin harus menjadi seorang pendengar yang bijak sebab pilihan rakyat atasnya ialah suatu pelimpahan tanggung jawab moral untuk melayani dan mendengarkan nurani masyarakat.

Akhirnya, kita menanti kelanjutan penyelesaian klaim kepemilikan wilayah Besipae ini. Pada Juni mendatang sesuai dengan janji gubernur Viktor Laiskodat, masalah ini akan diselesaikan secara tuntas. Semoga gubernur hadir untuk menyejukkan situasi dan membawa oase bagi kerinduan warga Besipae agar setiap keputusan yang diambil tidak mengahantar rakyat pada “tumbal” karena aksi protesnya. Penyelesaian kali ini harus bisa “menyembuhkan” cacat demokrasi prosedural yang “terlanjur” dilakukan Pemrov NTT agar warga Besipae tidak merasa dipojokkan dan dengan tenang memimpikan “seandainya wilayah Besipae menjadi pusat budidaya kelor dan dan peternakan terbaik di NTT” pada masa-masa mendatang. Salam (*)

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Spektakel Bahasa Puitik; Melancong dengan Imajinasi

Komunitas Maya dan Raibnya “Empty Place” di Era Pasca Kebenaran

Yang Janggal dari Klaim Kepemilikan Besipae dan Upaya Membereskan Sinyalemen