Spektakel Bahasa Puitik; Melancong dengan Imajinasi

 

Rindu Sunyi ||Eps.01|| Fredy Sebho - YouTube

 

Judul Buku: Luka, tentang Ingatan yang Hampir Lupa

Penulis: Fredy Sebho

Penerbit:  Ledalero

Tahun Terbit: 2020

ISSBN: 978-602-1161-98-2

Tebal: 108 hal.

 

Buku ini adalah kumpulan prosa yang diramu dengan gaya bahasa yang sangat romantik dan kaya metafora. Kita dibuat terperangah dengan kelincahan memilin kata; suatu undangan untuk melancong dengan imajinasi.

Terhimpun 20 prosa yang menurut penulisnya,  “hasil dari semacam aforisma atau catataan lepas saat bersekolah di negerei Spageti-Italia dan saat mengunjungi beberapa tempat indah di Eropa”. Karena itu, prosa-prosa ini hemat saya adalah juga semacam spektakel romantik “perjalanan jatuh cinta”, keresahan cinta yang estetik lagi dilematik penulisnya.  Melaluinya, pembaca dapat pula berkaca tentang dirinya sendiri. Di buku ini, segala yang biasa diracik menjadi sedemikian takjub. Pembaca bisa menjelma menjadi seorang peziarah imaji yang terenyuh dengan keajaiban cinta serentak menjadi “gelisah” karena cinta yang kelewat getir. Semuanya singgah dan bermula di buku ini.

Prosa-prosa  Fredy Sebho tidak mengikuti pakem yang baku. Prosanya hidup dengan bahasa sastrawi yang lincah dan mengalir. Prosa yang hemat saya, tidak menyandang beban apa-apa untuk dipikulkan.  Persis, sehubungan potensi sebuah karya sastra, prosa Fredy Sebho lahir sebagai partus precipitatus, prosa yang tidak diciptakan karena terpaksa sebagaimana propaganda sastrawi, karya sastra yang di dalamnya kerap diemban sebuah tugas politis tertentu; memuja-memuji mazhab  (Tustgu Edy,1985:23). Kita menjumpai suatu ziarah bahasa yang nyaris amat kontemplatif di dalamnya, menyentuh suatu titik rentan paling privat manusia; mengagumi serentak mencibir pengalaman cinta. Semuanya adalah ziarah romantik, melaluinya setiap orang merefleksi dan berkaca.

Luka, bisa jadi kerap dialami oleh wanita bukan? prosa pertama berjudul “Kepada kau, Lelaki” dalam kumpulan ini bisa jadi titik pijak mengapa luka adalah perihal ingatan yang hampir lupa. Penulis tidak menulis dari sudut pandang yang sangat maskulin dengan dominasi bahasa yang meremehkan kedudukan jender tertentu, wanita khususnya. Dalam balutan romantika dan ketajaman logika, ia justru menghidupkan dan bahkan “membongkar” semacam jiwa patriarkatnya. Sebuah ketajaman puitik yang lahir dari usaha personifikasi diri yang lain, juga suatu keberpihakan profetik yang tegas.

Detail kisah yang nyaris ritmis dalam kumpulan ini juga dihidupkan dengan percakapan yang nyeleneh dan nyentrik. Kita akan menemukan betapa hidup ini juga sebuah perjalanan cinta yang amat paradoksal; “Nda, mungkin wanita itu seperti kucing betina”. Akh kamu menghina ya?. “tidak!”. Lalu apa maksudmu?. “Jika didekati, ia akan menjauh. Jika ditinggalkan, ia malah datang mendekat” (hal.60).

Prosa-prosa dalam buku ini sangat figuratif tetapi sekaligus benderang. “Luka” mesti disembuhkan dengan cara menghadirkannya kembali. Kita melancong dengan imajinasi dan membuatnya kembali. Buku ini mampu “menghantar” siapa saja yang selalu haus akan cinta dan selalu mencari cinta, menghadirkannya dan membuatnya dekat; berdamai dengan lukanya dan jadi sembuh. Prosa-prosa ini adalah cara merawat ingatan, cara melancong dengan imajinasi dan cara menikmati spektakel bahasa yang romantik sekaligus erotik. Tentu, ia berguna bagi siapa saja merasa dirinya belum “selesai”, persis ketika ia “sudah selesai” sebagai manusia.

Selamat melancong dengan imajinasi, selamat menikamati spektakel bahasa yang puitik-erotik serentak profetik lewat buku ini.

Dapatkan buku ini segera di penerbit Ledalero atau wisma Arnoldus Janssen Nitapleat. Syalom.

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Komunitas Maya dan Raibnya “Empty Place” di Era Pasca Kebenaran

Yang Janggal dari Klaim Kepemilikan Besipae dan Upaya Membereskan Sinyalemen