Sebuah Twit untuk Almamater Seminari BSB Pada Dies Natalis ke -19

                           Misa HUT ke-18 Seminari Menengah Maria Bunda Segala Bangsa - YouTube 


Saya menulis catatan ini dengan sangat impresif. Tentu, catatan ini sangat pribadi, sebuah keterlibatan untuk mengambil bagian dalam kebahagiaan alamamater tercinta, hari ini. Izinkan saya menulis agak panjang.

Hari ini Seminari BSB merayakan ulang tahun ke-19. Bahagia dan syukur adalah kurban yang mesti selalu dipanjatkan. Usia ini bagi saya masih terlalu belia untuk disebut sebagai sebuah lembaga pendidikan calon imam yang mapan dengan tradisi-tradisi unik yang melekat padanya. Namun, usia 19 ini justru sebuah potensi, ada semacam ruang dan waktu amat luas bagi pertumbuhan. Ada prospek; cita-cita dan idealisme yang terbentang luas di hadapan kemewaktuannya. Bagi saya, Bunda Segala Bangsa yang otentik adalah Rahim yang menumbuhkan berjuta benih kebaikan tanpa merasa terlalu muda atau merasa terlalu tua. Rahim itu, tempat semua orang merasa betah dengan panggilannya dan seharusnya, tempat bagi perjumpaan secara intens dengan Ia yang memanggil.

BSB di usia ke-19 sudah-kah menjadi sungguh-sungguh rahim yang mewariskan keaslian itu? Saya sengaja membuka dengan pertanyaan, karena justru demikian, lembaga yang memilih BSB sebagai pelindung dan penopang ini dapat melihat dirinya secara lebih jujur hari ini dan seterusnya. Saya ingat sajak Ulang Tahun-nya Chairil Anwar “…Kuraba dahiku, astagfirullah, sujudku masih jauh dari khusyuk ketimbang keinginanku. Hmm,, masih lebih besar duniawiku…”. Di saat yang sama, ulang tahun adalah usaha mengintip cita-cita dan menyibak celah masa lalu. Dua-duanya tak lain adalah suatu refleksi-evaluasi untuk dan demi masa depan.

Pengalaman di Seminari BSB selama 6 tahun (2010-2016) adalah sebuah ketakjuban. Saya ingat teman angkatan saya bernama Supri Timba, (kami sering memanggilnya Nero). Suatu hari, pada penghujung Juli 2016 dia katakan, “saya rasa waktu ini singkat. Kita ni bisa bertahan 6 tahun di tempat yang sama e?” Pertanyaan ini menghentak saya waktu itu; apa yang sudah berkembang dari diriku? Apakah 6 tahun adalah waktu yang sia-sia? 6 tahun, siapa sangka?

Membayangkan waktu secara temporal tampaknya membosankan apalagi dengan rutinitas yang sama dan menu makanan yang jauh dari kata istimewa. Namun, saya berani katakan bahwa dinamika hidup bersama itu nikmat. Hidup di seminari itu sebuah ketakjuban; di satu sisi merasa heran dengan diri yang mampu dan sisi lain merasa sebagai manusia yang terbatas penuh dosa, jauh dari kata kudus tetapi lolos dari sejumlah tuntutan seminari. Ini sebuah paradoks; saya merasa mampu tetapi sekaligus tidak mampu dan ketidakmampuan saya ini dimampukan oleh mereka yang lebih mampu; guru, frater, romo yang setia mendidik. Karena itu, selain syukur kepada Tuhan, juga terima kasih selimpahnya saya ucapkan kepada orang-orang yang berjasa ini. Mereka sungguh memperkaya ketakjuban ini.

Dalam catatan ini, saya ingin mengungkapkan semacam ‘penemuan’ saya akan beberapa hal unik dari seminari BSB. Karena itu, izinkan saya seolah-olah menempatkan diri saya kembali sebagai seorang seminaris. hehehe

Pertama, saya merasa dididik menjadi seminaris di tengah kota dengan tuntutan keheningan batin dan ketajaman intelektual. Awalnya, saya merasa hal ini sungguh mustahil. Memang, membayangkan tuntutan keheningan di tengah raung kebisingan kota Maumere itu sebuah ketakmungkinan. Hiruk pikuk kota apalagi bunyi kendaraan di sepanjang El-Tari adalah sebuah kontradiksi paling radikal dari tuntutan agar seminaris bisa hening atau dengan nada nasihat yang hemat saya amat klise, “mampu menemukan diri dalam keheningan”.

Namun, bagi saya ini sebuah pemurnian diri yang paling mentereng. Keheningan itu soal batin. Menjadi hening tidak mesti harus di tempat yang sepi, sunyi. Dan bagi saya, pengalaman ini justru menguatkan saya lebih-lebih di tengah hiruk pikuk dunia. Di mana pun, keheningan diri bisa tercipta. Dan di sinilah, orang diajarkan menempatkan dirinya secara wajar dan proporsional. Maknanya justru ditemukan dari kemampuan “menarik diri”, kemampuan menahkodai pikiran agar tidak terkontaminasi hiruk pikuk dunia. Keheningan buat saya banyak melakukan hal-hal sederhana dengan batin yang tentram.

Dan bagi saya, menjadi seminaris di tengah kota adalah juga misi yang konkret. Saya diajarkan untuk menerima segala kemutakhiran dan prestasi dunia yang menakjubkan ini termasuk adanya teknologi tetapi di saat yang sama, posisi saya sebagai orang terpanggil tidak mudah tergerus. Saya tetap menjadi seminaris di tengah kota tetapi hiruk pikuknya sama sekali tidak merobohkan saya. Apa yang saya hidupi adalah sebuah kesaksian; bagaimana mungkin seorang anak baru tamat SD memberi diri untuk Tuhan di tengah tawaran yang mengitarinya? Demikian kesaksian itu menakjubkan bagi orang yang bertanya.

Hal kedua, pengalaman-pengalaman sulit. Dalam beberapa waktu di seminari, kesulitan itu tak terhindari. Di zaman kami, ada saat air sangat sulit didapat, bangunan seadanya (yang lain masih diupayakan untuk dibangun). Kami bekerja membantu pembangunan asrama dan kapela. Di tengah keterbatasan itu, setiap orang mesti berpikir tentang orang lain. Kesulitan waktu itu memang dirasa menjengkelkan. Namun, setelah menarik jarak dari pengalaman ini, justru ada hal yang bermakna. Aspek memanajemen waktu, pun keterlibatan untuk berdamai dengan situasi adalah pelajaran paling penting. Dan ini menjadi semacam titik pijak bagi saya untuk selalu menghargai pengalaman-pengalaman sulit sebagai pelajaran yang bermakna. Terima kasih pengalaman-pengalaman sulit!

***

Sebagaimana sudah saya tulis, usia 19 adalah usia yang masih belia. Ada potensi yang membentang luas. Dari pengalaman yang saya sebutkan di atas, tentu saya tak dapat mengelak bahwa BSB masih punya celah rumpang untuk dirampungkan. Namun, kali ini saya ingin memberikan komentar umum saja.

Pertama, BSB punya spiritualitas apa? Dari dulu saya selalu bertanya, spiritualitas khas mana yang melekat dalam kehidupan lembaga ini. Jika sedikit menarik garis ke belakang, BSB pernah mengalami peristiwa-peristiwa yang menggemparkan publik bahkan publik se-indonesia. Untuk tidak menyebut masalah, peristiwa-peristiwa itu turut merajut suatu jalinan peristiwa yang melaluinya, semua orang dalam lembaga ini perlu mengintrospeksi diri. Spiritualitas penting untuk bertahan di tengah badai. Juga spiritualitas itu mesti dihayati secara bersama sebagai satu lembaga, bukan menjadi spiritulitas privat yang darinya timbul kepentingan diri untuk mengorbitkan prestise dan reputasi.

Spiritualitas yang dangkal akan mudah mendepak orang pada keangkuhan. Tentang hal ini saya ingat sebuah pengalaman menarik. Pada zaman kami, ada seorang pembina yang sangat bangga dengan gelar S2-nya. Hampir pasti, ia selalu memacu kami belajar atau memberikan nasihat intelektual berangkat dari pencapaian S2 itu. Bagi saya hal ini menarik dan khas. Tentu sangat positif. Namun, sebagai pelajar SMA waktu itu, kami pernah dikomentari, “adik, kamu masih ijazah SMP, saya ni sudah S2”. Dan ada satu teman saya berbisik kecil, “iya, ijazah S2 itu ada karena ijazah SMP”. Untung saja, bisikan semacam ini tidak didengar. Hehehe.

Hemat saya, ada kerentanan besar dari pola pikir semacam ini. Dan bagi saya yang hidup serumah dengannya, nasihat itu tidak hanya memacu saya tetapi juga melahirkan pertanyaan dalam benak saya; mengapa ia mengukur kami dari pencapaian ijazah. Ijazah itu hanya sebuah isyarat formal. Yang terpenting adalah proses merealisasikan diri dalam tahap pembentukan. Jika manusia direduksi hanya kepada ijazah yang diperolehnya, tentu akan ada banyak orang yang belajar hanya untuk meraih ijazah selembar itu. Hemat saya, ini tanda suatu spiritualitas diri yang narsistik dan dangkal.

Harapan saya, spiritualitas kolektif itu mesti disadarkan, mesti menjadi dasar pijak bagi pembentukan calon imam. Dan bagi saya, spiritualitas inilah yang membentuk tradisi yang khas.

Kedua, Keteladanan. BSB adalah sebuah lembaga pendidikan; ada pendidik dan ada yang dididik. Saya ingat Romo Datus Du’u sering bilang, verba movent, exempla trahunt, kata-kata menggerakkan tetapi teladan lebih memikat hati. Keteladanan jangan dipikir misalnya dalam rupa sebuah prestasi besar tetapi mesti berangkat dari hal-hal remeh-temeh; kedisiplinan, penghayatan hidup sebagai imam, frater, dll. Dan saya yakin, para seminaris akan sangat sensitif dengan ketidakteladanan formator. Krisis keteladanan akan menjamur kepada para peserta didik. “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, pepetah ini perlu direnungkan.

Ketiga, membangun pendidikan intersubjektif yang dialogis. Lawan dari dialogis adalah otoritarian. Kadang-kadang watak ini terus dibawa oleh para formator padahal esensi pendidikan hemat saya adalah saling mendidik dengan sikap dialogis. Karena itu sikap mendengarkan dan memahami secara hati-hati adalah kebajikan penting dalam pendidikan calon imam. Saya kira, sebagai sebuah lembaga, seminari BSB kadang-kadang juga terjebak dalam kesewenang-wenangan formator. Formator kadang merasa diri paling benar karena misalnya punya otoritas yang strategis. Memang tidak semua dan tidak sering, tapi itu hal yang rentan.

BSB itu tempat persemainan panggilan. Dia yang memanggil tak pernah salah memanggil. Manusialah yang kerap menggagalkan, entah formator, entah formandi. Formator mesti sadar diri bahwa kehadirannya ialah untuk mendekatkan orang pada empunya panggilan agar orang makin kagum pada-Nya dan bukan justru mewartakan keberingasan dan popularitas dirinya. Karena itu, sikap dialogis mesti diupayakan. Dialog menghasilkan saling pengertian. Dengan dialog, peserta didik akan lebih merasa “disapa”, dan merasa sebagai bagian dari lembaga ini. Saya, pikir, budaya massal masih sangat kental di seminari-seminari. Karena itu, pendekatan intersubjektif mesti perlu diupayakan oleh para formator.

“Lebih baik salah mengeluarkan daripada salah menahbiskan”, pernyataan ini sering saya dengar. Bagi saya, ini pernyataan yang sangat menindas, otoriter yang kerap membenarkan seluruh keputusan formator. Padahal, formator bisa saja salah. Kesalahan itu selalu mungkin bagi setiap orang yang lemah dan terbatas ini. Tidak ada yang baik dari “lebih baik salah mengeluarkan”. Tuhan sendiri yang memanggil orang untuk mengikuti-Nya. Apakah itu bukan sebuah dosa karena sudah memutuskan panggilan itu? Karena itu, hemat saya, BSB mesti menjadi rumah tempat orang dididik bukan tempat orang dikeluarkan.

Sebagai akhir, saya sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada Rahim Bunda Segala Bangsa yang telah membesarkan saya dengan cinta yang aduh. BSB adalah taman kenangan yang selalu jadi candu untuk diceritakan.

May the heart of Jesus live in the heart of all people!

Bravo Seminari BSB. Semoga tetap jadi Rahim, tempat orang menimba kebijaksanaan.

Salamku

Nitapleat, 28 Oktober 2021

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Spektakel Bahasa Puitik; Melancong dengan Imajinasi

Komunitas Maya dan Raibnya “Empty Place” di Era Pasca Kebenaran

Yang Janggal dari Klaim Kepemilikan Besipae dan Upaya Membereskan Sinyalemen